Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Jumat, 13 April 2012

The New Volturians


“SKAK MAT!!” aku menyeringai pada Felix yang menekuk wajahnya karena untuk kesekian kalinya aku kalahkan bermain catur.

“Kita coba sekali lagi!” Felix mulai menyusun kembali pion-pion caturnya.

“Malas, aku bosan mengalahkanmu terus Felix!” aku bangkit berdiri.

“Sudah kukatakan kau pasti kalah lagi Felix!” Alec bersuara dari sudut ruangan. Kemudian terdengar suara tawa Demetri dan Chelsea dibagian lain ruangan besar ini.

“Yeah, seharusnya kau sepandai Alec untuk kapok dan berfikir cukup sekali aku kalahkan.” Aku menyeringai pada Alec yang memutar bola matanya.

“Jadi... ada yang mau menemaniku jalan-jalan di kota pagi ini?” tak ada yang menjawab, menandakan aku harus pergi sendiri lagi hari ini. Aku mengangkat bahu “Baiklah, aku pergi” aku melesat menuju keluar kastil. Saat sampai di lobby, Gianna menyapaku.


“Hi Heidi...” sapanya tetap ceria seperti biasa.

“ Hi manusia...” kutatap Gianna dengan pandangan siap memangsa. Gianna membelalakan mata dan tercekat “Hei..Hei..Heidi...” dia tergagap.

“Hahaha... Hi Gianna! :D Pagi yang cerah bukan?!” aku kembali berhasil mengelabuinya.

“Hmm... Heidi.” Gianna tersenyum canggung.

“Aku pergi dulu, daaa...!” ku kedipkan sebelah mataku dan melesat keluar.



Aku bosan dengan keseharianku yang selalu berulang seperti ini selama berabad-abad. Hari ini sangat cerah, aku mengenakan blazer merah panjangku, kaus turtle neck hitam, dan rok pendek hitamku, kukenakan juga stocking hitamku untuk menutup kulit kakiku. Ku gerai rambut hitamku dan aku mulai berjalan berkeliling kota dengan tampilan mata ungu-ku yang dihasilkan dari perpaduan lensa kontaku yang berwarna biru dengan warna asli mataku yang merah. Aku benar-benar suka warna mata palsuku ini.

            This morning I want something new! Jadi aku akan melakukan aktivitas berbeda dari yang biasa pagi ini. Aku akan traveling layaknya manusia hari ini. Aku menaiki taksi menuju sebuah museum di tengah kota. Museum ini terasa lebih ramai dari biasanya karena ada segerombolan mahasiswa dari universitas diluar negeri yang sedang berkunjung kesini. Aku tak mempedulikan mereka, aku hanya berjalan-jalan di sepanjang lorong-lorong museum dan mengamati benda-benda sejarah dari Volterra, tapi kebanyakan benda-benda itu tidak lebih tua daripada usiaku. Aku berhenti didepan sebuah lukisan. Di lukisan itu tergambar sebuah kastil besar dengan banyak prajurit, diatas balkon kastil yang paling tinggi berdiri seorang lelaki berambut hitam panjang. Laki-laki itu mirip Aro, tapi aku tau itu bukan dia. Lelaki itu pasti raja Volterra dulu. Tentu saja kastil dilukisan itu tidak lain dan tidak bukan adalah tempat tinggalku selama beberapa abad terakhir ini.

            Karena terlalu serius mengamati lukisan itu, aku baru menyadari kalau ada orang lain disampingku yang juga sedang mengamati lukisan ini. Aku melihat dari sudut mataku, lelaki itu sangat fokus pada lukisan tersebut, seperti sedang berusaha menangkap suatu pesan rahasia. Jangan-jangan tadi wajahku juga seperti itu saat memperhatikan lukisan ini... ==”


            Aku pergi meninggalkan orang itu, tapi kemudian aku menghirup sesuatu yang manis yang membakar kerongkonganku. Aku langsung menoleh ke sumber bau itu. Disana! Ditempatku tadi berdiri. Disanalah sumbernya! Ternyata jari-jari pria tadi berdarah karena tergores sudut bingkai lukisan yang tajam. Aku mengunci kakiku dan seluh pergerakan tubuhku, termasuk berhenti bernapas. Laki-laki itu dengan sigap menghisap darahnya yang keluar dari jari-jarinya. Lalu ia menoleh kearahku yang sedang memandangnya dengan mata membelalak. Seperti korban-korbanku yang lainnya, pria itu bukan pergi menjauhiku, tapi dia malah maju mendekatiku. Dia berjalan menghampiriku dengan langkah teratur. Pria itu mengangkat tangannya seperti buronan polisi yang tertangkap basah.

“Hei miss, anda kenapa? Wajah anda terlihat shock!” suara pria itu begitu lembut, dia berbicara dalam bahasa inggris, dia pasti tourist.

“emm, apa anda tak mengerti ucapan saya? Saya kurang bisa bahasa Italia.”

“Tidak, aku baik-baik saja, lebih baik obati saja luka anda. Permisi.” Aku pergi meninggalkan pria itu dengan tergesa-gesa menahan napas. Bau darah pria itu benar-benar manis! Aku berjalan menuju lorong museum terakhir yang belum sempat aku lewati. Ketika hendak berbelok, aku berpapasan dengan pria tadi dan teman-teman grombolannya. Sepertinya mereka mahasiswa-mahasiswa yang berkunjung itu. Dia melirikku, tapi saat mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandanganku dan berjalan lebih cepat keluar museum. Perasaaanku tak karuan, jadi lebih baik aku langsung pergi dari sini.



Aku berjalan kearah perpustakaan umum yang terletak tiga blok dari museum tadi. Aku sedang ingin mencari informasi tentang sejarah Voltera setelah melihat lukisan tadi. Saat aku menyusuri rak buku paling kanan, aku menemukan sebuah buku yang menarik perhatianku, tidak sesuai dengan apa yang kucari sejak awal, namun membuatku penasaran. Tulisan besar pada cover buku tebal itu bertuliskan “History of Magic”. Kubuka cover depannya, belum sempat aku membaca tiba-tiba suara langkah kaki yang sangat ringan bahkan hampir tak terdengar mendekat dan berhenti tepat satu meter dibelakangku. Aku tahu bahwa dia manusia, maka aku mengacuhkannya. Tapi kemudian dia berdeham dan “Permisi..” pria itu berkata. Kurasa aku mengenal suara ini, aku menoleh dan benar saja. Aku tak terkejut dengan siapa yang kulihat, tapi aku terkejut dengan apa yang kurasakan saat melihat pria ini.



Jantungku seperti mau meledak, aku merasakan kupu-kupu berterbangan dalam perutku. Aku hanya  diam memandangnya. Mataku kosong begitupun mata birunya. Mahasiswa itu seperti terhipnotis, matanya memancarkan takjub. Tatapannya menusuk tajam kedalam mataku. Dia berusaha mengembalikan kesadarannya lalu berdeham lagi dan berkata “Maaf saya menggangu anda, tapi...” mahasiswa ini tanpa sadar melangkah maju mendekatiku. Aku tak habis pikir kenapa semua manusia menjadi gila saat kku tatap seperti ini?! ==” memangnya mereka sudah bosan hidup ya?!

Aku tetap diam tak bergerak, entah mengapa aku tak mau bergerak. Aku ingin pria ini terus mendekat. Dan dia semakin mendekat. Matanya benar-benar kosong, sepertinya dimatanya hanya ada aku. Sekarang jaraknya tinggal 30 sentimeter didepanku. Dia nerhenti, tangannya hendak meraihku. Aku mundur selangkah, kemudian dia berkata “Kenapa?” wajahnya terlihat bingung kemudian pandangannya kembali fokus.

“Kita tidak bisa...” aku berkata lembut.

“Oh maaf...” dia menurunkan tangannya.

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada buku yang kupegang. Dia tetap berdiri disamppingku.

“Kau mahasiswa dari Amerika?” aku berbicara dengan bahasa Inggris.

“Yeah, aku Riley Biers, aku sedang menyelesaikan tesisku disini. Aku dari Seattle.” Seattle dekat dengan Forks tempat keluarga Cullen, reflek aku mendongak dan menatapnya.

“Seattle?!” bisikku.

“Yeah, ada apa?” Riley nulai fokus dengan pembicaraan.

“Emm, tidak apa, Apa disana aman?”

“Teah, seperti kota-koat lainnya.” Dia tak hentinnya memandangiku.

“Aku harus pergi.”kututup buku yang sedang kubaca dan berjalan meninggalkannya.

“Tunggu!” Riley memanggilku lagi, aku berbalik.

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Heidi.” Jawabku singkat.

“Heidi maukah kau menjadi milikku?” Riley berkata dengan lantangnya.

APA-APAAN ORANG INI!! O.o

Kututup mulutku, mataku membelalak terkejut. Kalau saja aku masih manusia, jantungku pasti berdegup 10 detakan per sekon. Luar biasa! Betapa tak terkendalinya diriku saat ini! Riley melangkahkan kakinya perlahan mendekatiku. Aku kembali mematung. Aku tak habis pikir dengannya. Apa yang dia pikirkan?! Apa dia sudah gila?! Dia baru mengetahui namaku lima menit yang lalu, tapi ia sudah melamarku, walaupun sebenarnya aku senang.

Apa?! Aku senang?! Sepanjang eksistensiku baru kali ini aku senang di taksir sesorang!

Apa manusia satu ini tak memiliki insting melindungi diri hingga dengan cerobohnya melamar seorang vampire?!



Riley mempersempit jarak antara kami, dia meraih bahuku dan kali ini aku tak menolaknya.

“Kau bersedia?” bisiknya.

“Kita tidak bisa, kau dan aku berbeda.” Aku balas berbisik. Hatiku mencelos saat mengatakannya.

“Apa maksudmu?” Riley mengerutkan keningnya.

“Aku harus pergi.” Riley meraih tanganku

“Apa maksudmu kau adalah bangsawan dan aku hanya orang biasa?” Riley memicingkan matanya.\

“Bukan itu. aku juga bukan bangsawan.” Jawabku datar.

“Jadi?”Riley mencecarku.

“Tidakkah kau sadar kita baru bertemu dua jam yang lalu?” aku memutar bola mataku.

“Akupun tak tau apa yang terjadi padaku, tapi... kau seperti magnet untukku! Kau menarikku begitu kuat, dan aku tak mau melepaskanmu!”

Kau tak tau apa yang kau lakukan.” Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dan pergi darinya.









Aku pulang dengan membawa lebih sedikit tourist dari biasanya. Aro mengerutkan kening ketika aku datang, tapi untungnya dia tak membahas hasil tangkapanku dan tak memintaku untuk menyentuh tangannya. Habislah aku kalau sampai Aro dan yang lainnya tau bahwa aku mengalami hal seburuk dan sebodoh Edward Cullen! “Jatuh Cinta Pada Manusia” benar-benar indah sekaligus menyakitkan dan memalukan. Saat malam mulai menyelimuti langit Voltera, setelah menikmati 2 orang pria Spanyol hasil tangkapanku sendiri aku keluar kastil dan berjalan-jalan disekitar taman kota Voltera yang berada tepat dipusat kota Voltera. Aku duduk disalah satu kursi disudut taman, dibawah naungan tiang lampu taman yang lampunya menyala redup. Dengan penerangan seadanya seperti ini aku masih tetap bisa membaca dan melihat dengan jelas dan jernih.



Salah satu cara bagi penyihir untuk dapat hidup abadi yaitu adalah dengan mebagi jiwa ke dalam beberapa bagian kedalam beberapa benda yang dinamakan Horcrucx. Salah satu penyiihir paling terkenal sepanjang masa yang menerapkan cara ini yaitu Dia Yang Tidak Boleh Disebut Namanya (The Lord Voldemort). Ketujuh Horcrux The Lord Voldemort berhasil dimusnahkan dengan banyak pengorbanan yang dilakukan oleh pahlawan dunia sihir Harry Potter. Penyihir paling genius sepanjang masa sekaligus kepala sekolah dari sekolah sihir nomor satu “Hogwarts”  yaitu Albus Dumbledore juga mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan dunia sihir.



Beberapa penyihir senior membentuk sebuah perkumpulan bernama Orde Phoenix untuk membantu ”Anak Yang Bertahan Hidup” sang Harry Potter dan teman-temannya untuk mencari dan memusnahkan Horcrux.....



Bacaanku terhenti setelah tiba-tiba aku mencium bau darah yang saangat manis, bau darah yang kukenal, bau darah yang belum pernah kutemui sebelumnya selama eksistensiku. Bau itu semakin dekat dan aku menolehkan wajahku kekanan dan kemudian aku merasakan sesuatu yang lembut dibibirku, manis. Mataku membelalak melihat wajah Riley yang berada didepan wajahku *tanpa jarak* sehingga ketika aku memalingkan wajahku hidung dan bibir kami bersentuhan.



Aku menarik diri, kemudian Riley berjalan memutar dan duduk disampingku.

“Apa kabar sayang?” Riley tersenyum miring. Sangat mempesona.

“Ada apa lagi?” aku mengalihkan pandanganku kembali ke buku-ku. Tapi kemudian Riley meraih daguku dan menghadapkan wajahku kepadanya agar aku memandangnya.

“Aku bahkan rela untuk tak kembali lagi ke Seattle untuk tetap bersamamu.” Dia menatap mataku dalam-dalam.

Kututup buku-ku dan ku hadapkan diriku menghadapnya. “Kau dan Aku berbeda. Benar-benar berbeda!” kutekankan setiap kata-kataku sambil menunjuk dirinya dan diriku saat menyebut KAU dan AKU. “dan kita benar-benar tidak bisa bersama!” aku berkata tegas tapi lembut.

“Okay, aku akan pergi, tapi  setelah kau katakan padaku apa perbedaan yang kau maksud?” Riley tetap teguh.

“Aku tak dapat mengatakannya.” Aku kembali membuka buku-ku.

“Aku mencintaimu apa adanya!” Riley tetap berbicara.

“Bagaimana kalau aku itu penyihir?” aku menahan senyum karena menggunakan istilah penyihir gara-gara habis membaca buku sejarah sihir. J bahkan aku tak perlu membagi jiwaku pada benda mati untuk hidup abadi.. hah.. :D

 “Aku melihat buku apa yang kau baca girl.” Riley tersenyum jahil.

“Anggap saja kalau saja ucapanku ini benar.” =,=

“Aku tetap dengan keputusanku.” Riley menjawab santai.

“Sudah malam, sebaiknya kau pulang.” Aku tak memedulikannya.

“Kau yang wanita Heidi.” ==” Riley memutar bola matanya.

“Lalu apa hubungannya?”

“Kau yang seharusnya sudah pulang malam-malam begini. Mau ku antar pulang?” Riley menawarkan.

“Aku bisa menjaga diri. Sebaiknya kau pulang, besok aktivitasmu masih panjang kan?”

“Tesis-ku sudah selesai, aku sudah disini sejak sebulan yang lalu, buruknya aku baru bertemu kau hari ini. Aku dan teman-temanku mengambil waktu dua hari lagi untuk bersantai dan liburan disini.

“Kalau begitu aku pulang duluan.” Aku beranjak berdiri. Baru dua langkah aku berjalan, Riley menarik tanganku dan dengan cepat ia memelukku sangat erat. Apa ia tak merasakan kerasnya tubuhku? entah apa yang merasuki diriku sehingga aku membalas pelukannya. Riley merasakan pelukanku kemudian ia mencium rambutku, bibirnya mulai turun ke baeah telingakku dan mulai menjelajahi rahangku. Bibirnya terus menjelajah dan mencari-cari sesuatu, lalu ia menemukannya. Bibir kami bertemu. Bibrnya menyentuh bibirku dengan lembut. Aku merasakan sensasi yang aneh dan belum pernah kurasakan, pikiranku melayang. Kesadaranku terenggut, tanganku yang tadinya berada di punggung Riley mulai beralih kedadanya dan naik ke lehernya, kugantungkan tanganku sana. Riley terus melumat bibirku semakin menggila, tanganku meraih rambut cokelatnya yang lembut dan meremasnya                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             



Riley melakukannya dengan sangat baik, tapi tidak denganku. Aku lepas kendali, gigiku menggigit bibirnya, darah keluar dari bibirnya, aku merasakannya! Aku dapat merasakannya dilidahku! Dengan kalap bibirku beralih dari bibirmya ke lehernya. Kuhisap darahnya! Aku melakukannya! Aku tak bisa berhenti! Aku benar-benar kecanduan! Berhenti! Berhenti Heidi! Berhenti! Kau tak boleh membunuhnya! Suara-suara kawarasanku berteriak-teriak dalam pikranku. Aku mengumpulkan kesadaranku. Aku benar-benar mengerahkan segenap kekuatanku untuk berhenti. Akhirnya aku berhasil berhenti, ku rasakan tubuh Riley terkulai lemas bersandar ditubuhku. Ku luhat wajahnya, wajahnya seketika pucat, matanya terpejam, alis indahnya berkerut menahan sakit, wajahnya melukiskan penderitaan yang amat sangat. Aku tahu rasanya, aku pernah merasaakannya. Seketika hatiku mencelos melihatnya menderita seperti ini. Dia tak bersuara dengan kesakitan yang dirasakannya. Aku tahu dia masih hidup. Kubawa dia ke sebuah gedung tua dekat taman. Gedung tua ini dulu adalah rumah seorang cendekiawan asal Irlandia bernama Josh Franklin yang menetap di Voltera sejak tahun 1955. Aku menganalnya dengan baik pada saat itu. josh hidup sendiri dan tak memiliki keluarga, jadilah rumah ini hanya menjadi gedung tua tak terurus setelah kematiannya. Seluruh barang-barangnya masih berada disana. Masih utuh tak tersentuh.



Ku baringkan Riley diatas ranjang di sebuah kamar besar yang dulunya adalah kamar Josh. Riley diam tak bergerak, namun napasnya yang memburu dan rintihan kecil yang sesekali terlontar dari bibirnya yang berdarah cukup untuk mengingatkanku bahwa dia masih hidup. Kuraih saputangan dari saku-ku untuk mengelap darah dari bibirnya. Kalau saja aku bisa menangis, pasti aku sudah menangis tersedu-sedu sekarang ini.

“Maafkan aku Riley.” Bisikku ditelinganya.

Sekali lagi kudengar rintihan kecil dari bibirnya. Biasanya mereka yang sedang dalam proses ini akan memberikan respon histeris, meronta-ronta dan menjerit. Tapi dia begitu tenang, apa otaknya masih dapat berpikir dan mencerna apa yang sedang dialaminya? Apa dia menyadari apa yang sedang menimpanya saat ini dan apa yang sedang menantinya beberapa hari lagi?



Aku kembali ke kastil pukul empat pagi setelah aku memastikan Riley benar-benar aman di gedung tua itu dan tidak akan membuat keributan. Aku masuk ke aula kastil tempat para pengawal biasa menghabiskan waktu malam. Hanya ada Renata, Alec, Jane, dan Demetri disana.

“Darimana saja kau seharian ini?” tegur Renata.

“Jalan-jalan.” Jawabku singkat.

“Ada apa denganmu Heidi?” tanya Demetri yang tampak penasaran.

“Tak ada...” aku merebahkan tubuhku diatas sofa besar disudut ruangan.

“Jangan bohong Heidi, yang tampak saja dulu,, kita semua tahu bahwa tangkapanmu kemarin jauh dibawah standar biasanya. Padahal kudengar kemarin museum sedang ramai sekali karena kedatangan beberapa mahasiswa dari luar negeri.” Alec menatapku curiga.

“Lalu apa aku harus menangkap mereka juga? Lama-lama Voltera akan menjadi salah satu tujuan traveling paling berbahaya nomor satu  di Dunia kau tau?! =,=

“ Dan mereka takkan pernah menyangka bahwa sumber bahaya itu adalah seorang wanita cantik.” Demetri mengedipkan sebelah matanya padaku. Kuputar bola mataku.

“Sudahlah, tidak penting membicarakan aku.” Aku memejamkan mataku.

“Kau ingin tidur Heidi?” jane bersuara juga.

“Ya, andai aku bisa Jane.” Aku tetap memejamkan mataku.

 Tiba-tiba pintu besar aula terbuka, kemudian Chelsea dan Athenodora masuk. Sungguh mengejutkan! Athenodora keluar kamarnya malam-malam begini. Oh tidak maksudku pagi. Aku bangkit duduk.

“Hi semua... “ :D sapa Athe riang.

“HI... J” kami semua menjawab serempak.

“Aku sedang ingin ngobrol” athe  duduk disampingku. Semua diam dan menunggu athenodora melanjutkan.

“Menurut kalian Caius itu membosankan tidak?” tanyanya to the point.

“Sangat” jawabku asal. Semua langsung mengalihkan perhatiannya padaku.

“Aku senang kau menjawab pertanyaanku dengan jujur!” Athenodora memandangku dengan mata berbinar dan senyum mereka dari bibirnya. Aku balas tersenyum dan mengangkat bahu.

“Hmm, sebenarnya aku bosan selalu di acuhkan olehnya. Dia selalu dingin terhadap semua orang. Aku merasa seperti hidup sendiri tanpa pasangan seperti kalian.” Athenodora menghembuskan napas berat.

“Aku ingin tahu, bagaimana perasaan kalian dengan tidak memiliki pasangan seperti sekarang ini?” dia melanjutkan.

“Hampa.” Demetri menjawab enteng sambil memainkan i-Pad nya. Pandangan Athenodora beralih kearah Demetri. Dia tersenyum. “Dan bagamana kau mengatasinya?” athe memandang demetri sekarang.

“Seperti yang kau lihat sekarang ini.” Dia mengangkat bahu.

“Lalu bagaimana dengan Jane?” kukira Athe bertanya pada Jane tapi ternyata tidak, karena wajahnya masih tetap menghadap kearah Demetri.

Semua pengawal menahan tawa mereka termasuk aku, tapi Demetri kemudian melirik Jane yang sedang memelototi saudara kembarnya yang sedang menertawakannya. Kalau saja dia bisa blushing, pasti dia sudah menampakannya sekarang. :D

“Bagaimana Jane?” tanya Demetri dengan senyum menggoda. Jane memutar bola matanya.

“haha.. sudahlah Jane aku tau, Aro takkan melarang kalian! J

“Lalu bagaimana denganmu Alec?” sekarang gantian Jane yang tersenyum mengejek pada Alec.

“Aku merasa baik-baik saja dengan keadaan seperti ini. Dan... tak ada siapapun.” Jawab alec santai.

“Kau tak menginginkan seseorang untuk kau miliki?” Athenodora terus mencecar.

“Kurasa tidak untuk saat ini.” Alec mengangkat bahu.

“Menurutku Heidi cukup ideal.” Athe melirikku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tersenyum. Semua pengawal yang ada di aula kembali tertawa termasuk Jane.

“Bagaimana Heidi?” kata Alec menirukan gaya Demetri tadi.

“Kurasa boleh juga.” ;) aku mengedipkan sebelah mataku pada Alec. Dan alec tertawa sangat keras sekali.

“Haha... kalian ini, aku serius tau!” :D Athe lalu menoleh padaku.

“Kau tak ingin punya kekasih Heidi?” Athenodora menatapku dengan serius

“Mungkin suatu saat nanti dia akan datang The, walaupun aku sendiri tak tahu kapan.” Akupun menjawabnya dengan serius. Seketika aku langsung teringat pada Riley.

“Aku melihat suatu harapan diwajahmu.” Athe menatapku dalam-dalam.

“Mungkin harapan itu memang benar ada sayang.” Aku tersenyum lembut pada Athenodora dan dia membalas senyumku.

“Hmm,, renata! Kau habiskan seluruh eksistensimu dengan selalu berada disamping Aro, bahkan lebih sering daripada Sulpicia istrinya sendiri , bagaimana perasaanmu? Atau jangan-jangan kau sudah menyukai Aro hah?” Athe menertawakan leluconnya sendiri, dan akupun terbahak-bahak mendengar dugaan konyol athe itu.

“Kau sakit jiwa permaisuri... =____=” renata memasang tampang “yang benar saja?”

“Haha... aku bercanda rena :D, jadi, apa ada seseorang?” Athe menghentikan tawanya.

“Seperti yang kau katakan hampir setiap saat aku selalu berada disamping Aro, bahkan lebih sering daripada Sulpicia istrinya sendiri, jadi bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada seseorang kecuali aro hah?” =____=” Renata mendengus diiringi tawa Demetri yang menggema keseluruh bagian ruangan aula besar ini.



“Baiklah, interview selesai. Terimakasih telah memberikan aku waktu mengobrol yang menyenangkan ini guys. J aku harus kembali ke kamarku. Sampai ketemu nanti...  ;)” Athenodora bangkit dan berjalan keluar diikuti Chelsea.





Sudah dua hari lamanya Riley terbaring disini, beberapa jam lagi seharusnya dia sudah bangun sebagai Riley yang baru. Aku menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku melihat sepasang mata merah yang sangat jernih itu menatapku. Aku terpaku membalas tatapannya. Dalam waktu kurang dari setengah detik aku sudah menempel pada tembok putih kamar besar ini dangan Riley yang menekan kencang tubuhku. Dia mengunci leherku dengan lengannya yang bekali-kali lipat kuatnya dari sebelumnya. Dia memojokanku dan menunci pergelangan tanganku dengan tangannya yang lain.wajahnya kini hanya berjarak 5 cm dari wajahku. Hembbusan napasnya yang harum menyapu wajahku. Namun tatapan matanya liar menusuk tajam kedalam mataku. Aku terkulai lemas, pasrah dengan apapun yang akan dilakukannya. Aku pantas mendapatkannya. Aku telah merenggut hidupnya. Hidupnya sebagai manusia. Kupandang matanya dengan pilu “Riley...” aku bersuara.

Seketika tatapannya mencair setelah mendengar suaraku. “Riley, aku Heidi. Ingatkah kau padaku?” aku kembali bersuara. Dan kemudian lengannya yang mengunci leherku mulai mengendur. “Maafkan perbuatanku.” Aku memejamkan mataku seakan ingin mengeluarkan air mata walaupun tak mungkin akan ada air mata yang keluar dari mata ini. Kemudian aku sudah tak merasakan lagi pitingan lengan Riley dileherku. Dan dalam waktu sangat singkat lengan Riley sudah berpindah ke pinggangku menguncinya dengan erat sehingga tak ada lagi jarak antara kami. Disaat yang sama aku kembali merasakan sensasi yang sama bahkan lebih hebat dari yang beberapa malam lalu kurasakan namun disebabkan oleh sebab yang sama. Bibir itu kembali menyentuh bibirku dengan lembut, sangat lembut. Rasanya ingin sekali menangis bahagia saat ini. Kugantungkan tanganku ke lehernya dan menarik diriku semakin dekat padanya. Dia tak mau berhenti dan terus melumat bibirku dengan ganas. Kuremas rambutnya danmembalas ciumannya. Tidak adil jika terus terjadi penjumlahan tanpa ada perkalian bukan? ;)  kemudian aku berhenti dan dia meyadarinya. Lalu Riley menarik wajahnya dari wajahku dan memandangiku tanpa bersuara. Kemudian dia mulai merubah ekspresi datar dan serius yang sejak tadi menyelimuti wajahnya. Dia menarik sedikit ujung bibirnya dan munculah sebuah senyuman miring yang sangat indah darinya. “Kau sungguh cantik.” Bisiknya ditelingaku.


Aku menatapnya heran. “Mata baruku lebih bisa diterima kebenarannya daripada mataku yang sebelumnya.” Riley menjelaskan. Tapi bagaimana dia mengerti dengan semua ini?” O.o”

“Jadi ini yang kau maksud kita berbeda?” wajahnya kembali serius. Sekarang suaranya terdengar lebih jernih daripada sebelumnya. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya.

“Tapi sekarang kita sudah sama, dan tak ada perbedaan lagi antara kita. Benarkan?” Riley tersenyum menggoda.

“ Apa kau tidak menyesal dan membenciku?” Kutatap matanya dalam-dalam mencari jawaban.

“Untuk apa? Ini yang aku inginkan. Kau sudah mendengar pernyataanku waktu itu bukan? Bahwa aku menerima kau apa adanya. Apapun itu kau.” Riley menyentuh pipiku.

“Dan apakah kau tau apakah kau sekarang ini?” aku tersenyum menggoda.

“Mudah saja. Aku tidak bodoh sayang.” Riley mengerucutkan bibirnya.

“Jadi, boleh ku tau apakah kau ini??” tantangku.

“Vampire..” kemudian dia mengecup pipiku

“Aku dan gadisku  ini adalah dua orang vampire, kau tau sayang? Kau ganas sekali malam itu?!” Riley memicingkan matanya padaku seakan menuduhku berbuat kriminal. Dan itu memang benar.

“Kau yang memancingku saat itu!” ku kembalikan tatapan menuduh padanya.

“Tapi aku bahagia sekarang. Oh ya berapa lama aku terbaring disini?”

“Dua hari. Dan teman-teman mahasiswamu sudah pulang. Jadi sebaiknya kau siap-siap untuk pulang juga.”

“Apa kau mau aku pulang? Kau tak menginginkan aku disini?” Riley mengerutkan keningnya.

“Tentu saja aku mau, tapi kau harus pulang dan menyelesaikan kuliahmu dulu. Kau juga tidak boleh membuat kedua orang tuamu cemas. Dan satu lagi! Kau harus minum dulu. Oh ya ampun! Apa kau akan kuat berhadapan dengan manusia?!”

“Aku masih bisa mengontrol diriku sayang.”

“Ya! Sangat bisa! Sampai-sampai tadi kau memitingku dan hampir membunuhku.” Kuputar bola mataku.

“Itu hanya reaksi reflex sayang.”  Riley tersenyum manis.

“Dan ketika kau berburu, itu juga merupakan reaksi refleks kau tau?!”

“Aku yakin tak akan mengkonsumsi sembarangan!” Riley berjanji.

“Tapi aku takut dengan nasib keluargamu Riley.” L

“Tenanglah sayang, aku bisa mengendalikan diriku.”

“Kalau begitu akan kita buktikan! Sekarang kita ke kota dan berkerumun ditengah lautan manusia, tentunya setelah kau minum. Aku tak mau mengambil resiko. Dan sebaiknya kau pulang ke Seattle dengan pesawat Jet-ku.” Aku bicara panjang lebar.

“Kau punya pesawat Jet pribadi?!” Riley membelalakan matanya.



“Sudahlah! Itu tidak penting.” Kuputar bola mataku.



Sudah sebulan yang lalu semenjak kepergian Riley. Dia selalu meneleponku setiap jam, bahkan hampir setiap menit. Dia bukan hanya menghubungiku melallui telepon dan 3G, tapi jjuga melalui Internet dan Yahoo Messenger.Hari ini dia mengabarkan akan diwisuda. Dia berkata pada orang tuanya bahwa dia mendapatkan tawaran pekerjaan di Itallia dan akan mulai pindah dan menetap di Italia setelah wisuda nanti. Awalnya orangtuanya dan adik angkatnya Bree Tanner tidak setuju dengan keputusannya tersebut. Mereka sangat sedih dan tak ingin kehilangan Riley. Tapi Riley terus meyakinkan mereka bahwa ia akan mengunjungi mereka setiap tahun. Dan pada akhirnya mereka setuju melepaskan Riley untuk pindah ke Italia.



Aku bingung, apa yang harus ku katakan pada Aro kalau nanti Riley kembali. Aku ingin Riley bergabung dengan kami. Tapi aku tidak yakin kalau Aro menginginkan hal yang sama denganku. Sepanjang pengetahuan dan pengamatanku mengenai Riley, aku belum menemukan suatu bakat spesial tertentu yang dimilikinya. Sedangkan Aro hanya menginginkan vampire-vampire berbakat untuk bergabung dengannya. tapi Felix juga tak punya bakat apapun. Selain tubuhnya yang besar. Apa mungkin aku harus melakukan hubungan seperti Eleazar dan Carmen? Aku pasti tidak akan tahan.

Dan apakah aku harus mengambil langkah seperti Eleazar? Untuk pergi bersama Riley dari Volterra?

Aku benar-benaar bingung. Aku masih ingin disini. Tapi bagaimana kalau Aro tak menginginkan Riley?

Kalaupun aku  memutuskan untuk pergi, apakah aku akan seberuntung Eleazar hingga mendapatkan izin Aro dan hidup damai tanpa bayang-bayang Volturi?

Aku harus menemukan cara untuk keluar dari masalah ini sebelum Riley kembali.



Hari ini Riley akan kembali ke Volterra. Aku menjemputnya di Bandara. Dia langsung melesat menghampiri dan memelukku ketika melihatku. Kubalas pelukannya tak kalah erat. Tapi ketika dia hendak menciumku, aku menarik diri.

“Ini tempat umum. Ayo kita ke kastil.” Bisikku.

Tanpa banyak omong Riley langsung menarikku dan tetap menciumku dengan ganas ditenah kerumunan orang yang lalu lalang dibandara. Aku hanya diam saja sementara dia sibuk menghabisi bibirku. Ketika dia mulai santai dan tak menggebu-gebu lagi kubalas ciumannya dengan sekali kecupan lembut, lalu dia menarik wajahnya dari wajahku, lalu berbisik “Kau melakukan pengurangan!” aku hanya tersenyum.

“Relakanlah. Karena mungkin akan ada pembagian panjang sebentar lagi.” Mataku berubah serius.

“Apa?! Bagaimana bisa?! Kenapa?! Ayahmu?” Riley mulai panik.

“Haha... bagaimana mungkin aku masih memiliki ayah semenjak kelahiranku berabad-abad yang lalu sayang?” aku tertawa frustasi.

“Kalau begitu siapa yang akan melakukannya pada kita?” Riley mengerutkan keningnya.

“Kita lihat saja nanti.” Kutarik tangan Riley menuju lamborghini-ku.

“Kau mau mengemudi?” tanyaku.

“Kalau boleh.” Riley mengangkat bahu.



“Silahkan my boy... ;)..”





Dalam waktu seopuluh menit kami sudah tiba di kastil, Riley menyetir hampir sama gilanya denganku. Jadi aku tidak kaget dengan standar kecepatannya. Sebelum manusia sempat berkedip, jarak waktu antara matinya mesin mobil terbukanya pintu mobil disampingku hanya seperempat detik. Bahkan aku belum sempat berkedip, tapi Riley sudah ada disampingku dan membukakan pintu untukku. Benar-benar kecepatan yang luar biasa! Sebuah lampu menyala di otakku. Apa mungkin inilah keistimewaan Riley? Mungkinkah ini merupakan bakat dari Riley? Aku membutuhkan Eleazar dalam hal ini.



Setelah aku menjelaskan dengan singkat mengenai Riley pada Aro, Aro langsung mengangkat tangannya dan memintaku untuk menyentuhnya. Yah cara ini lebih praktis, sekaligus paling menyebalkan, tapi apa boleh buat. Aro menerawang selama beberapa menit dan kemudian matanya kembali fokus, lalu kutarik tanganku.

“Kesetiaan dan loyalitasmu pada kami selama ini sangat tinggi Heidi. Kau sudah ku anggap sebagai anakku. Kau merupakan salah satu anak kebanggaanku. Tentunya aku ingin kau bahagia sayang. Dan aku tak ingin kehilanganmu seperti aku kehilangan Eleazar. Jadi kurasa aku harus menerima bocah itu untukmu. Tapi tidak ada salahnya bukan kalau kau terus menyelidiki kemungkinan dari pemikiran geniusmu itu?” Aro tersenyum lembut.


Aku sempat bingung dengan maksudnya tentang kemungkinan dari pemikiran genius itu. tapi beberapa detik kemudian aku paham. Maksud Aro adalah pemikiranku mengenai kecepatan sebagai bakat Riley. Aku mengangguk hormat pada Aro.

“Baiklah semuanya! Kini kita mendapatkan teman baru berkat Heidi! Selamat datang Riley...” Aro mengumumkan pada seluruh anggota Volturi, kemudian tersenyum penuh harap pada Riley. Riley mengangguk sebagai balasan dari ucapan Aro.


0 komentar:

Posting Komentar